
This is my story about my experiences with some friends from CiKrip (Community Kreatifitas Paramuda), PEKAN (Persatuan Kesenian Anak Nelayan – The Unity of Fisherman Children Artisant) as part of SMN (Suara Muda Nusantara – Voice of Indonesian Youth) when accompanying children from Rohingya refugees in Bayeun, Aceh (translator: Aceh is a province in the North of Sumatera Island, Indonesia) on September 10, 2015. There was seven of us at that time, and was accompanied by brother “kakak” of CMC (translator: Children Media Center, an NGO focusses in children rights issue) and Roosa Sibarani.
It is still clear in my memory, in the first week of May 2015 when the fishermen of Aceh rescue and bring the Rohingya refugees from adrift in the ocean, eventually they were taken to the mainland. They are placed in several refugee camps in East Aceh, Langsa, Lok Bani, etc. Since that time I saw the Rohingya refugees present in my city, namely Langsa. Currently, it seems clear view of hundreds of man-adults, teens, children, baby; faced fatigue, chills, confusion, pale, sad, depressed, etc. Nothing is pleasing to the eye, just sadness that look and I can feel. I never imagined there was such a heartbreaking thing happened and now they live side by side with me and the people in Langsa.
A second chance to interact with Rohingya refugees back open, on September 10, 2015. On that occasion I witnessed that most children already looks cheerful, even some of them may already be able to put away the events that shake their psychology. Their cheerfulness seems clear when they start actively playing and to do dialogue with the volunteers companion though constrained language. Yes, most of them only know Urdu, while the companion using Indonesian and some people can speak English.
But there is another view, I also see children who always alone even stay away if a stranger tries to approach them, even scared when he/she saw the man, I think that the child still can not forget what happened to him a few months ago.
There are a lot of children activities in Rohingya refugees in Bayeun refugee camp, such as reading, writing, drawing and counting and those learning activities were applied with playing monopoly, congklak (Indonesian traditional game), and puzzle that children easily understand it. They also play soccer, play with rubber band, and many other traditional games.
Although the instruments played are sufficient, but few tools are damaged and can harm children themselves, such as swings made from iron that has been broken and is left unattended while children ran around the swing without anyone forbid or warn them about the risks they faced when exposed to scratches iron.
Another thing that I noticed in the refuge camp is "children see, children do." Some children imitate what they see in others and the effect is there are children who often beat, throw his toys, and even there is bickering and being tempramental is one reason why the child is easily upset and offended. What was done by the adults of course very quickly imitated by children. I suspect that the Rohingya children are very often see adults and surrounding being violent in many form such as easily angry, do hitting, make rude joke, etc.
However, in the camp made by the CMC and terre des hommes- Germany, our companion teach children about love. Children who fight while playing and learning will separate gently and given a hug for them, so they can feel that they are loved and will gradually get to know love. The more the Rohingya children feel that they are loved, I believe the more children will be a source of love their friends and others.
Writing by Zata Lini Zalsabila, CiKrip - member of Suara Muda Nusantara
Translated by Indra N Hatasura
---
Anak-Anak Rohingya Dicintai
Ini adalah cerita saya tentang pengalaman saya
dan teman-teman CiKrip , PEKAN & SMN saat mendampingi anak-anak
pengungsi rohingya di Bayeun, Aceh (Nama daerah tempat pengungsian) pada tanggal
10 September 2015. Jumlah kami 7 orang saat itu, dan didampingi oleh
kakak-kakak dari CMC dan Roosa Sibarani.
Masih jelas
di memori saya pada minggu pertama bulan Mei sewaktu para nelayan Aceh
menyelamatkan dan membawa para pengungsi Rohingya yang terkatung-katung di
lautan, akhirnya mereka dibawa ke daratan. Mereka ditempatkan di beberapa
lokasi pengungsian di Aceh Timur, Langsa, Lok Bani, dll. Sejak saat itu saya
melihat para pengungsi Rohingya hadir di kota saya, yaitu Langsa. Saat itu
tampak jelas pemandangan ratusan manusia-dewasa, remaja, anak-anak, bayi-
dengan wajah keletihan, kedinginan, bingung, pucat, sedih, murung, dll. Tak ada
yang enak dipandang mata, hanya kesedihan yang terlihat dan dapat saya rasakan.
Tak pernah saya bayangkan ada hal yang memilukan seperti itu terjadi dan kini
mereka tinggal berdampingan dengan saya dan masyarakat di Langsa.
Kesempatan
kedua untuk berinteraksi dengan pengungsi Rohingya kembali terbuka, yaitu pada
tanggal 10 September. Pada kesempatan itu saya menyaksikan bahwa sebagian besar
anak-anak pengungsi Rohingya sudah terlihat ceria kembali ,bahkan sebagian dari
mereka mungkin sudah dapat melupakan kejadian yang cukup mengguncang psikologi
mereka. Kecerian mereka nampak jelas terlihat ketika mereka mulai aktif bermain
dan mau berdialog dengan relawan-relawan pendamping walau terkendala bahasa.
Ya, kebanyakan mereka hanya tahu berbahasa Urdu, sedangkan para pendamping
menggunakan bahasa Indonesia dan beberapa orang dapat berbahasa Inggris.
Tapi ada
pemandangan lain, saya juga menjumpai anak yang selalu menyendiri
bahkan menjauh jika ada orang asing yang mencoba mendekatinya bahkan mereka
merasa takut ketika melihat orang tersebut, saya berpikir bahwa anak tersebut
masih belum bisa melupakan apa yang terjadi padanya beberapa bulan yang lalu.
Kegiatan
Anak-anak pengungsi rohingya di pengungsian Bayeun sangat banyak, seperti
belajar membaca,menulis, menggambar dan berhitung dan kegiatan belajar itu
diaplikasikan dengan cara bermain monopoli, congklak, dan permainan merangkai
gambar agar anak-anak mudah mengerti dan memahaminya dengan cepat.
Selain itu anak-anak juga bermain sepak bola, bermain karet gelang,
dan masih banyak lagi permainan tradisional lainnya dimainkan oleh mereka.
Walaupun
alat-alat bermain yang dimainkan anak-anak sudah mencukupi, tetapi ada beberapa
alat-alat bermain yang sudah rusak dan dapat membahayakan anak-anak sendiri,
seperti ayunan yang terbuat dari besi sudah patah dan dibiarkan terbengkalai
begitu saja dan anak-anak pun berlari-larian di tempat ayunan yang sudah patah
tersebut tanpa ada yang melarang atau memperingatkan mereka tentang resiko yang
mereka alami jika terkena goresan besi tersebut.
Hal lainnya
yang saya perhatikan di pengungsian adalah “children see, children do”.
Sebagian anak-anak menirukan apa yang dilihatnya pada orang lain dan efeknya
adalah ada anak yang sering memukul, melepar temannya sendiri dengan
mainan, bahkan juga ada yang beradu mulut dan bersikap tempramental menjadi
salah satu penyebab mengapa anak tersebut mudah marah dan tersinggung. Apa yang
dilakukan oleh orang dewasa tentu saja sangat cepat ditiru oleh anak-anak. Saya
menduga bahwa anak-anak Rohingya sangat sering melihat orang dewasa dan di
sekitarnya melakukan kekerasan, seperti marah-marah, memukul, mengejek, dll.
Namun, di camp
yang dibuat CMC dan terre des hommes Germany para kakak pendamping mengajarkan
anak-anak Rohingya tentang cinta-kasih. Anak-anak yang
bertengkar saat bermain dan belajar akan dilerai dengan lembut dan diberi
pelukan untuk mereka dapat merasakan bahwa mereka dicintai dan lambat-laun akan
mengenal cinta-kasih itu. Semakin banyak anak Rohingya merasakan bahwa mereka
dicintai, saya yakin maka semakin banyak anak-anak akan menjadi sumber
cinta-kasih bagi teman sebayanya dan sesama.