
The name of my village is Gunungsari in Candisari District, 25 minutes from the central of Semarang city. Until now, my village still has many problems that have occured many years ago, just as like what happened in Ampera, they are: gangster, drugs, alcohol and reading problems. Maybe the worst of all is the drug problems. Yes, there are many drugs dealers wandering around the village because the BNN (National Drugs Organization) missed tracking them.
No wonder if on the streets in my village we can find people who are drinking, gambling for cock fighting in front of houses. Many law enforcers (oknum) who suppose to be people to whom we can seek for justice, are actually actors behind those bad activities (translator: word oknum here refers to people who actually should do their duty to protect community but in fact do bad things such as black mail, protect crime, do corruption, bribery, etc). I don’t know how much they get paid for protecting crime.
The alley, as children playground |
SETARA Foundation (which I am actively involved in its program activities) has already succeeded on decreasing numbers of children who live on the streets, what I have done is to do engagement and to sound drugs prohibition. Until now the result is still having litlle in effect, not because I am not serious enough doing that but there are some factors like the back up for the drug dealer from some oknum.
We have did some presentation in the village with drugs issues, and sound the aspiration about trouble in my village like we did it in the beginning of 2015. When the discussion start the aspiration is accepted, but the presentation result is just like they attend the meeting formally, like a water in a water pipe the water flows from the right and just out from the left, not many things happened. After the meeting finished the pressure from the oknum start to raise.
Those pressures are from SMS terror, phone to my cellphone number; don’t know what their purpose is? From that point I start to think to make some posts in social media. A couple times, it is safe, but after some months the media social where I post the wiriting can not be accessed anymore. I think that the account must be hacked and deactivated.
Children in Gunungsari Village |
After I find out, from the money they get from selling drugs they make a living for their families and can send their children to school, although they know that money is hot. If I think again, inside my brain there are like many butterflies are flying. I feel pity for the children, but in the other side if there is no punishment for the dealer, what will happen to my village and the next generation?
Because of my high feel of curiousity, by April 2015 until now I start looking for more facts, in how this things is distributed, who is become the big player, who is become the dealer protector. From 12 RT (translator: smallest village unit system in Indonesia) in the location there are 3 RT which the data is already collected.
And we hope that educational institutional also can facilitate the chilldren from the drug dealer to keep active in schools although their parents may come to jail, with free cost to school. Not only those two institutions are important, but many other institutions also can actively involved in drug problems. The community and ourselves really needed to minimilize the drug distribution.
So, in this problem I really hope that police institutian and other law enforcer evaluate their staffs, whether they work corectly to fight the crime or to shield it (become part of crime itself)?
Until now I still confuse between two options, to let the village and its young generation broken, or to see the children drop out schools? It is normal to think about their children since everyday I learn with them. Further, if the childrean drop out schools new problem will occur “children will seek for money by work in the street.” It must prolong the list of the problems.
Although our village is full with negative things, but not all people do bad things. There are still some communities care with this village, believe that some good changes still can happen accompany with our hard work.
Writing by Anita Kirey M - Volunteer in Yayasan Setara in Gunung Sari Village, member of Suara Muda Nusantara
Translated by Indra N Hatasura and Lizbeth
---o0o---
Kehilangan dan Harapan Karena Narkoba di Kampung Gunungsari, Semarang Indonesia
Nama saya Anita Kirey M, atau Anita. Ini adalah ceritaku
sebagai anak yang dibesarkan di lingkungan kampung dimana kampung ini terkenal
dengan hal-hal negatif terutama yang terkait dengan kehidupan jalanan. Yaa
maklumlah kampungku ini adalah tempat relokasi untuk orang-orang jalanan yang
dulunya tinggal di daerah Ampera (semacam lokasi tinggalnya orang-orang jalanan
yang ada di Semarang dulunya).
Walking the alley to meet children and parents |
Kampungku ini bernama Gunungsari, di Kecamatan Candisari 25
menit dari pusat kota Semarang. Layaknya kehidupan di jalanan dulu, kampungku
sampai saat ini masih penuh dengan masalah yang menurutku sudah mengakar dalam
kehidupan masyarakat Ampera puluhan tahun lalu seperti Premanisme, Narkotika, Miras
& buta aksara. Mungkin paling parah di kampungku adalah Narkotika, yaa
karena dikampungku banyak sekali bandar-bandar narkoba yang luput dari pengawasan
BNN (Badan Narkotika Nasional).
Tidak heran jika di jalanan kampungku sering sekali di
jumpai orang-orang sedang berpesta miras, judi & sabung ayam secara
terang-terangan di depan rumah. Maklum banyak penegak hukum (oknum) yang seharusnyamenjadi tempat mencari keadilan
bagi masyarakat kemudian menjadi aktor di balik aktifitas kejahatan
(penerjemah: kata oknum di sini menunjuk kepada orang-orang yang seharusnya
menjalankan kewajibannya untuk melindungi masyarakat tapi pada faktanya
melakukan hal-hal yang buruk seperti pemerasan, melindungi kejahatan, melakukan
korupsi, penyogokan, dll). Entah digaji
berapa mereka hingga mau dijadikan perisai kejahatan.
Jujur sebagai generasi muda yang hidup di lingkungan yang
bisa dibilang rusak ingin rasanya merubah pola pikir masyarakat tentang hal-hal
negatif yang mereka bawa kakek nenek mereka dari jalanan untuk ditinggalkan,
tapi keinginan itu sangat sulit sekali untuk dilakukan dan pastinya tidak hanya
memerlukan waktu setahun dua tahun saja.
Jika Yayasan SETARA (dimana saya terlibat aktif pada
aktivitas programnya) sudah berhasil meminimalisir anak-anak untuk tidak turun
kejalan, yang dari dulu aku lakukan adalah melakukan pendekatan dan menyuarakan
pemberantasan narkoba. Tapi sampai saat ini masih sangat kecil hasilnya, bukan
karena aku yang tidak serius dalam melakukan hal itu tapi ada beberapa faktor
seperti perisai untuk bandar-bandar dari oknum tertentu.
Kami beberapa kali melakukan penyuluhan di kampungku tentang
narkotika, dan beberapa kali menyampaikan aspirasi tentang masalah yang
dihadapi oleh kampungku ini seperti pada awal tahun 2015. Saat dialog berlangsung
semua aspirasi ditampung, namun hasil penyuluhan ini seperti situasi dimana mereka
menghadiri pertemuan secara formal.Hasilnya adalah seperti air di pipa paralon
saja masuk kanan keluar kiri, tidak banyak yang berubah. Setelah acara selesai
tekanan dari oknum-oknum itu mulai muncul.
Tekanan itu berupa teror via SMS sampai telefon sering
tertuju ke nomer telfonku; entahlah apa maksud mereka?, Dari situlah mulai berpikir
bagaimana untuk membuat postingan-postingan di media sosial. Beberapa kali
memposting aman, tapi entah kenapa setelah beberapa bulan akun media sosial
tempat memposting tidak bisa diakses lagi. Sempat berfikiran, mungkin di hack
dan di nonaktifkan akun itu.
Pernah juga mengajak karang taruna untuk sama-sama
memberantas Narkotika dikampung kami tapi mereka malah takut karena ada banyak resiko
buruk yang akan didapat. Sebenarnya sekarang semangatku mulai menurun. Bukan
karena takut dengan teror-teror itu tapi karena rasa tidak tega dengan
anak-anak bandar narkoba dikampungku ini, bisa saja aku melaporkan bapaknya ke
polis dan dimasukkan ke bui.
Who will protect our next generation then? |
Setelah dicari tahu ternyata dari hasil jual narkoba itu mereka
menafkahi keluarganya dan menyekolahkan anak-anak mereka, walau aku tau itu
uang haram. Jika difikir-fikir lagi rasanya diotakku ini seperti banyak
kupu-kupu yang berterbangan, ada rasa tak tega pada anak-anaknya, tapi di sisi
lain kalau tidak ada hukuman untuk mereka para bandar mau jadi apa kampungku
dan generasi selanjutnya?
Karena rasa keingintauan yang tinggi mulai dari awal April
2015 sampai sekarang aku semakin ingin tahu tentang fakta-fakta yang sebenarnya
tentang bagaimana pendistribusian barang haram itu, siapa sebenarnya bandar
terbesarnya, siapa-siapa saja yang ada sebagai pelindung masalah itu. Dari 12
Rt yang ada di wilayah sudah 3 Rt yang infonya mulai didapatkan.
Sampai sekarang saya masih bingung antara dua pilhan,
membiarkan kampung dan generasi muda rusak, atau melihat anak-anak mereka yang
putus sekolah?. Wajar kalau aku memikirkan tentang anak-anak mereka, hampir
setiap hari aku belajar bersama anak-anak mereka. Lalu jika anak-anak mereka
putus sekolah pasti akan timbul masalah baru lagi “anak-anak mencari uang
dengan turun kejalan.” Pasti akan menambah daftar masalah-masalah lainya.
Jadi dalam masalah ini besar harapan saya untuk lembaga kepolisian
dan penegak hukum lainnya meninjau ulang anak buahnya apakah mereka bekerja
benar memberantas kejahatan atau justru menamengi kejahatan?.
Dan juga kita sangat berharap untuk lembaga pendidikan
memfasilitasi anak-anak bandar narkoba ini untuk tetap sekolah walau orang
tuanya didalam bui, dengan biaya gratis untuk sekolah. Sebenarnya bukan hanya
dua lembaga itu saja yang penting tapi lembaga lainnya harus ikut serta dalam
penanganan narkotika. Peran serta masyarakat dan diri sendiri sangat dibutuhkan
untuk meminimalisir peredaran narkoba.
Yang perlu digaris bawahi kampung kami memang terkenal
dengan hal-hal negatif tapi tidak serta merta semua masyarakatnya berkelakuan buruk,
masih ada masyarakat yang peduli dengan kampungnya bahwa perubahan yang lebih
baik akan terjadi diiringi usaha keras kita semua.
No comments:
Post a Comment