Thursday, August 27, 2015

Short Movie of Indonesian Children in 7 Location (Suara Muda Nusantara)

This is a short movie of Suara Muda Nusantara, taken from 7 location in Indonesia in 2013. It made by children (with help from some adults) and try to describe the situation in their perspective. The issue is child and ecological rights.

Organization involved: P3MN (Belawan, North Sumatera), KKSP (Tanjung Morawa), LSPL (Dairi, North Sumatera), Sokola Rimba (Bukit 12, Jambi), RMI (Bogor, West Java), Setara (Semarang, Middle Java) dan Lessan (Yogyakarta), CMC (Aceh) dan GEMMA (Medan, North Sumatera).

Thanks, specially to Mr Nano Suratno who made this movie available and upload it in Youtube.


Sunday, August 23, 2015

Lost and Hope by The Drugs in Gunungsari Village, Semarang Indonesia


My name is Anita Kirey M, or Anita. This is my story as a youth who lives in a village known with negative things related with street life. My village is used as a relocation place for people who used to live in Ampera (a location in Semarang City – Middle Java Province in Indonesia where many people live in the street).

The name of my village is Gunungsari in Candisari District, 25 minutes from the central of Semarang city. Until now, my village still has many problems that have occured many years ago, just as like what happened in Ampera, they are: gangster, drugs, alcohol and reading problems. Maybe the worst of all is the drug problems. Yes, there are many drugs dealers wandering around the village because the BNN (National Drugs Organization) missed tracking them.

No wonder if on the streets in my village we can find people who are drinking, gambling for cock fighting in front of houses. Many law enforcers (oknum) who suppose to be people to whom we can seek for justice, are actually actors behind those bad activities (translator: word oknum here refers to people who actually should do their duty to protect community but in fact do bad things such as black mail, protect crime, do corruption, bribery, etc). I don’t know how much they get paid for protecting crime.

The alley, as children playground
Frankly, as youth who lives in this kind of bad environment, I am so eager to change the community’s way of thinking that has been inherited for so long, but this dream is way to difficult to come true and it will take years.

SETARA Foundation (which I am actively involved in its program activities) has already succeeded on decreasing numbers of children who live on the streets, what I have done is to do engagement and to sound drugs prohibition. Until now the result is still having litlle in effect, not because I am not serious enough doing that but there are some factors like the back up for the drug dealer from some oknum.

We have did some presentation in the village with drugs issues, and sound the aspiration about trouble in my village like we did it in the beginning of 2015. When the discussion start the aspiration is accepted, but the presentation result is just like they attend the meeting formally, like a water in a water pipe the water flows from the right and just out from the left, not many things happened. After the meeting finished the pressure from the oknum start to raise.

Those pressures are from SMS terror, phone to my cellphone number; don’t know what their purpose is? From that point I start to think to make some posts in social media. A couple times, it is safe, but after some months the media social where I post the wiriting can not be accessed anymore. I think that the account must be hacked and deactivated.

Children in Gunungsari Village
Happened I ask the village youth orgainization (or Karang Taruna) to prevent drugs in our village but they get scared because the risk they will encounter later. Honestly, by now my spirit start to decline. Not because I am afraid with those terrors but because my feeling of pity for the children of those drugs dealer in my village. It can be like if I do the report to the police then their father will be put in jail.

After I find out, from the money they get from selling drugs they make a living for their families and can send their children to school, although they know that money is hot. If I think again, inside my brain there are like many butterflies are flying. I feel pity for the children, but in the other side if there is no punishment for the dealer, what will happen to my village and the next generation?

Because of my high feel of curiousity, by April 2015 until now I start looking for more facts, in how this things is distributed, who is become the big player, who is become the dealer protector. From 12 RT (translator: smallest village unit system in Indonesia) in the location there are 3 RT which the data is already collected.

And we hope that educational institutional also can facilitate the chilldren from the drug dealer to keep active in schools although their parents may come to jail, with free cost to school. Not only those two institutions are important, but many other institutions also can actively involved in drug problems. The community and ourselves really needed to minimilize the drug distribution.

So, in this problem I really hope that police institutian and other law enforcer evaluate their staffs, whether they work corectly to fight the crime or to shield it (become part of crime itself)?

Until now I still confuse between two options, to let the village and its young generation broken, or to see the children drop out schools? It is normal to think about their children since everyday I learn with them. Further, if the childrean drop out schools new problem will occur “children will seek for money by work in the street.” It must prolong the list of the problems.

Although our village is full with negative things, but not all people do bad things. There are still some communities care with this village, believe that some good changes still can happen accompany with our hard work.


Writing by Anita Kirey M - Volunteer in Yayasan Setara in Gunung Sari Village, member of Suara Muda Nusantara
Translated by Indra N Hatasura and Lizbeth


---o0o---

Kehilangan dan Harapan Karena Narkoba di Kampung Gunungsari, Semarang Indonesia



Nama saya Anita Kirey M, atau Anita. Ini adalah ceritaku sebagai anak yang dibesarkan di lingkungan kampung dimana kampung ini terkenal dengan hal-hal negatif terutama yang terkait dengan kehidupan jalanan. Yaa maklumlah kampungku ini adalah tempat relokasi untuk orang-orang jalanan yang dulunya tinggal di daerah Ampera (semacam lokasi tinggalnya orang-orang jalanan yang ada di Semarang dulunya).


Walking the alley to meet children and parents
Kampungku ini bernama Gunungsari, di Kecamatan Candisari 25 menit dari pusat kota Semarang. Layaknya kehidupan di jalanan dulu, kampungku sampai saat ini masih penuh dengan masalah yang menurutku sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat Ampera puluhan tahun lalu seperti Premanisme, Narkotika, Miras & buta aksara. Mungkin paling parah di kampungku adalah Narkotika, yaa karena dikampungku banyak sekali bandar-bandar narkoba yang luput dari pengawasan BNN (Badan Narkotika Nasional).


Tidak heran jika di jalanan kampungku sering sekali di jumpai orang-orang sedang berpesta miras, judi & sabung ayam secara terang-terangan di depan rumah. Maklum banyak penegak hukum (oknum)  yang seharusnyamenjadi tempat mencari keadilan bagi masyarakat kemudian menjadi aktor di balik aktifitas kejahatan (penerjemah: kata oknum di sini menunjuk kepada orang-orang yang seharusnya menjalankan kewajibannya untuk melindungi masyarakat tapi pada faktanya melakukan hal-hal yang buruk seperti pemerasan, melindungi kejahatan, melakukan korupsi, penyogokan, dll).  Entah digaji berapa mereka hingga mau dijadikan perisai kejahatan.


Jujur sebagai generasi muda yang hidup di lingkungan yang bisa dibilang rusak ingin rasanya merubah pola pikir masyarakat tentang hal-hal negatif yang mereka bawa kakek nenek mereka dari jalanan untuk ditinggalkan, tapi keinginan itu sangat sulit sekali untuk dilakukan dan pastinya tidak hanya memerlukan waktu setahun dua tahun saja.


Jika Yayasan SETARA (dimana saya terlibat aktif pada aktivitas programnya) sudah berhasil meminimalisir anak-anak untuk tidak turun kejalan, yang dari dulu aku lakukan adalah melakukan pendekatan dan menyuarakan pemberantasan narkoba. Tapi sampai saat ini masih sangat kecil hasilnya, bukan karena aku yang tidak serius dalam melakukan hal itu tapi ada beberapa faktor seperti perisai untuk bandar-bandar dari oknum tertentu.


Kami beberapa kali melakukan penyuluhan di kampungku tentang narkotika, dan beberapa kali menyampaikan aspirasi tentang masalah yang dihadapi oleh kampungku ini seperti pada awal tahun 2015. Saat dialog berlangsung semua aspirasi ditampung, namun hasil penyuluhan ini seperti situasi dimana mereka menghadiri pertemuan secara formal.Hasilnya adalah seperti air di pipa paralon saja masuk kanan keluar kiri, tidak banyak yang berubah. Setelah acara selesai tekanan dari oknum-oknum itu mulai muncul. 


Tekanan itu berupa teror via SMS sampai telefon sering tertuju ke nomer telfonku; entahlah apa maksud mereka?, Dari situlah mulai berpikir bagaimana untuk membuat postingan-postingan di media sosial. Beberapa kali memposting aman, tapi entah kenapa setelah beberapa bulan akun media sosial tempat memposting tidak bisa diakses lagi. Sempat berfikiran, mungkin di hack dan di nonaktifkan akun itu. 


Pernah juga mengajak karang taruna untuk sama-sama memberantas Narkotika dikampung kami tapi mereka malah takut karena ada banyak resiko buruk yang akan didapat. Sebenarnya sekarang semangatku mulai menurun. Bukan karena takut dengan teror-teror itu tapi karena rasa tidak tega dengan anak-anak bandar narkoba dikampungku ini, bisa saja aku melaporkan bapaknya ke polis dan dimasukkan ke bui.
Who will protect our next generation then?


Setelah dicari tahu ternyata dari hasil jual narkoba itu mereka menafkahi keluarganya dan menyekolahkan anak-anak mereka, walau aku tau itu uang haram. Jika difikir-fikir lagi rasanya diotakku ini seperti banyak kupu-kupu yang berterbangan, ada rasa tak tega pada anak-anaknya, tapi di sisi lain kalau tidak ada hukuman untuk mereka para bandar mau jadi apa kampungku dan generasi selanjutnya?


Karena rasa keingintauan yang tinggi mulai dari awal April 2015 sampai sekarang aku semakin ingin tahu tentang fakta-fakta yang sebenarnya tentang bagaimana pendistribusian barang haram itu, siapa sebenarnya bandar terbesarnya, siapa-siapa saja yang ada sebagai pelindung masalah itu. Dari 12 Rt yang ada di wilayah sudah 3 Rt yang infonya mulai didapatkan.


Sampai sekarang saya masih bingung antara dua pilhan, membiarkan kampung dan generasi muda rusak, atau melihat anak-anak mereka yang putus sekolah?. Wajar kalau aku memikirkan tentang anak-anak mereka, hampir setiap hari aku belajar bersama anak-anak mereka. Lalu jika anak-anak mereka putus sekolah pasti akan timbul masalah baru lagi “anak-anak mencari uang dengan turun kejalan.” Pasti akan menambah daftar masalah-masalah lainya.


Jadi dalam masalah ini besar harapan saya untuk lembaga kepolisian dan penegak hukum lainnya meninjau ulang anak buahnya apakah mereka bekerja benar memberantas kejahatan atau justru menamengi kejahatan?.


Dan juga kita sangat berharap untuk lembaga pendidikan memfasilitasi anak-anak bandar narkoba ini untuk tetap sekolah walau orang tuanya didalam bui, dengan biaya gratis untuk sekolah. Sebenarnya bukan hanya dua lembaga itu saja yang penting tapi lembaga lainnya harus ikut serta dalam penanganan narkotika. Peran serta masyarakat dan diri sendiri sangat dibutuhkan untuk meminimalisir peredaran narkoba.  


Yang perlu digaris bawahi kampung kami memang terkenal dengan hal-hal negatif tapi tidak serta merta semua masyarakatnya berkelakuan buruk, masih ada masyarakat yang peduli dengan kampungnya bahwa perubahan yang lebih baik akan terjadi diiringi usaha keras kita semua.