Tuesday, September 15, 2015

Love for Rohingyan Children




This is my story about my experiences with some friends from CiKrip (Community Kreatifitas Paramuda), PEKAN (Persatuan Kesenian Anak Nelayan – The Unity of Fisherman Children Artisant) as part of SMN (Suara Muda Nusantara – Voice of Indonesian Youth) when accompanying children from Rohingya refugees in Bayeun, Aceh (translator: Aceh is a province in the North of Sumatera Island, Indonesia) on September 10, 2015. There was seven of us at that time, and was accompanied by brother kakak of CMC (translator: Children Media Center, an NGO focusses in children rights issue) and Roosa Sibarani.

It is still clear in my memory, in the first week of May 2015 when the fishermen of Aceh rescue and bring the Rohingya refugees from adrift in the ocean, eventually they were taken to the mainland. They are placed in several refugee camps in East Aceh, Langsa, Lok Bani, etc. Since that time I saw the Rohingya refugees present in my city, namely Langsa. Currently, it seems clear view of hundreds of man-adults, teens, children, baby; faced fatigue, chills, confusion, pale, sad, depressed, etc. Nothing is pleasing to the eye, just sadness that look and I can feel. I never imagined there was such a heartbreaking thing happened and now they live side by side with me and the people in Langsa.

A second chance to interact with Rohingya refugees back open, on September 10, 2015. On that occasion I witnessed that most children already looks cheerful, even some of them may already be able to put away the events that shake their psychology. Their cheerfulness seems clear when they start actively playing and to do dialogue with the volunteers companion though constrained language. Yes, most of them only know Urdu, while the companion using Indonesian and some people can speak English.

But there is another view, I also see children who always alone even stay away if a stranger tries to approach them, even scared when he/she  saw the man, I think that the child still can not forget what happened to him a few months ago.

There are a lot of children activities in Rohingya refugees in Bayeun refugee camp, such as reading, writing, drawing and counting and those learning activities were applied with playing monopoly, congklak (Indonesian traditional game), and puzzle that children easily understand it. They also play soccer, play with rubber band, and many other traditional games.

Although the instruments played are sufficient, but few tools are damaged and can harm children themselves, such as swings made from iron that has been broken and is left unattended while children ran
around the swing without anyone forbid or warn them about the risks they faced when exposed to scratches iron.

Another thing that I noticed in the refuge camp is "children see,  children do." Some children imitate what they see in others and the effect is there are children who often beat, throw his toys, and even there is bickering and being tempramental is one reason why the child is easily upset and offended. What was done by the adults of course very quickly imitated by children. I suspect that the Rohingya children are very often see adults and surrounding being violent in many form such as easily angry, do hitting, make rude joke, etc.

However, in the camp made by the CMC and terre des hommes- Germany, our companion teach children about love. Children who fight while playing and learning will separate gently and given a hug for them, so they can feel that they are loved and will gradually get to know love. The more the Rohingya children feel that they are loved, I believe the more children will be a source of love their friends and others.

Writing by Zata Lini Zalsabila, CiKrip - member of Suara Muda Nusantara
 Translated by Indra N Hatasura


 ---


 Anak-Anak Rohingya Dicintai


Ini adalah cerita saya tentang pengalaman saya dan teman-teman CiKrip , PEKAN & SMN  saat mendampingi anak-anak pengungsi rohingya di Bayeun, Aceh (Nama daerah tempat pengungsian) pada tanggal 10 September 2015. Jumlah kami 7 orang saat itu, dan didampingi oleh kakak-kakak dari CMC dan Roosa Sibarani.


Masih jelas di memori saya pada minggu pertama bulan Mei sewaktu para nelayan Aceh menyelamatkan dan membawa para pengungsi Rohingya yang terkatung-katung di lautan, akhirnya mereka dibawa ke daratan. Mereka ditempatkan di beberapa lokasi pengungsian di Aceh Timur, Langsa, Lok Bani, dll. Sejak saat itu saya melihat para pengungsi Rohingya hadir di kota saya, yaitu Langsa. Saat itu tampak jelas pemandangan ratusan manusia-dewasa, remaja, anak-anak, bayi- dengan wajah keletihan, kedinginan, bingung, pucat, sedih, murung, dll. Tak ada yang enak dipandang mata, hanya kesedihan yang terlihat dan dapat saya rasakan. Tak pernah saya bayangkan ada hal yang memilukan seperti itu terjadi dan kini mereka tinggal berdampingan dengan saya dan masyarakat di Langsa.


Kesempatan kedua untuk berinteraksi dengan pengungsi Rohingya kembali terbuka, yaitu pada tanggal 10 September. Pada kesempatan itu saya menyaksikan bahwa sebagian besar anak-anak pengungsi Rohingya sudah terlihat ceria kembali ,bahkan sebagian dari mereka mungkin sudah dapat melupakan kejadian yang cukup mengguncang psikologi mereka. Kecerian mereka nampak jelas terlihat ketika mereka mulai aktif bermain dan mau berdialog dengan relawan-relawan pendamping walau terkendala bahasa. Ya, kebanyakan mereka hanya tahu berbahasa Urdu, sedangkan para pendamping menggunakan bahasa Indonesia dan beberapa orang dapat berbahasa Inggris.


Tapi ada pemandangan lain, saya juga  menjumpai anak yang selalu menyendiri bahkan menjauh jika ada orang asing yang mencoba mendekatinya bahkan mereka merasa takut ketika melihat orang tersebut, saya berpikir bahwa anak tersebut masih belum bisa melupakan apa yang terjadi padanya beberapa bulan yang lalu.


Kegiatan Anak-anak pengungsi rohingya di pengungsian Bayeun sangat banyak, seperti belajar membaca,menulis, menggambar dan berhitung dan kegiatan belajar itu diaplikasikan dengan cara bermain monopoli, congklak, dan permainan merangkai gambar agar anak-anak mudah mengerti  dan memahaminya dengan cepat. Selain itu anak-anak juga bermain  sepak bola, bermain karet gelang, dan masih banyak lagi permainan tradisional lainnya dimainkan oleh mereka.


Walaupun alat-alat bermain yang dimainkan anak-anak sudah mencukupi, tetapi ada beberapa alat-alat bermain yang sudah rusak dan dapat membahayakan anak-anak sendiri, seperti ayunan yang terbuat dari besi sudah patah dan dibiarkan terbengkalai begitu saja dan anak-anak pun berlari-larian di tempat ayunan yang sudah patah tersebut tanpa ada yang melarang atau memperingatkan mereka tentang resiko yang mereka alami jika  terkena goresan besi tersebut.


Hal lainnya yang saya perhatikan di pengungsian adalah “children see, children do”. Sebagian anak-anak menirukan apa yang dilihatnya pada orang lain dan efeknya adalah ada anak yang sering memukul, melepar temannya sendiri dengan mainan, bahkan juga ada yang beradu mulut dan bersikap tempramental menjadi salah satu penyebab mengapa anak tersebut mudah marah dan tersinggung. Apa yang dilakukan oleh orang dewasa tentu saja sangat cepat ditiru oleh anak-anak. Saya menduga bahwa anak-anak Rohingya sangat sering melihat orang dewasa dan di sekitarnya melakukan kekerasan, seperti marah-marah, memukul, mengejek, dll. 


Namun, di camp yang dibuat CMC dan terre des hommes Germany para kakak pendamping mengajarkan anak-anak Rohingya tentang cinta-kasih. Anak-anak yang bertengkar saat bermain dan belajar akan dilerai dengan lembut dan diberi pelukan untuk mereka dapat merasakan bahwa mereka dicintai dan lambat-laun akan mengenal cinta-kasih itu. Semakin banyak anak Rohingya merasakan bahwa mereka dicintai, saya yakin maka semakin banyak anak-anak akan menjadi sumber cinta-kasih bagi teman sebayanya dan sesama.